Sabtu, 26 Maret 2016

“MENGGIATKAN GEOWISATA, MENGHIDUPKAN GEOPARK”


Yani Adriani

Perjalanan membangun taman bumi, atau lebih dikenal dengan geopark, di Indonesia sudah hampir sembilan tahun, dimulai pada tahun 2007 ketika Masyarakat Pemerhati Geowisata (MAPEGI) mengadakan pertemuan di Bandung, dan menyepakati akan mulai mengembangkan geopark di Indonesia (Rachmat, 2015). Kini, Indonesia telah memiliki enam geopark. Dua taman bumi sudah menjadi bagian dari Global Geopark Networks UNESCO, yaitu Geopark Batur yang mendapatkan statusnya pada tahun 2012, menyusul Geopark Gunung Sewu yang baru pada tahun 2015 lalu meraihnya. Empat geopark lainnya baru diakui sebagai geopark nasional, yaitu Geopark Kaldera Toba, Geopark Rinjani-Lombok, Geopark Merangin, dan Geopark Ciletuh.

GEOPARK DAN GEOWISATA

Geopark sebenarnya adalah sebuah konsep pembangunan berkelanjutan yang diterapkan pada wilayah yang di dalamnya terdapat geoheritage bernilai penting secara internasional (Robinson, 2015). Karena merupakan konsep pembangunan berkelanjutan, status Geopark Dunia atau Geopark Nasional bukan merupakan akhir perjalanan, justru awal perjuangan untuk mewujudkan pembangunan yang tidak hanya memberikan perlindungan terhadap sumber daya alam dan budaya, tetapi juga kesejahteraan kepada masyarakat lokal. ‘Menghidupkan’ geopark merupakan PR besar yang harus dijawab bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pihak industri, dan bahkan masyarakat setempat.

Geowisata merupakan inovasi produk pariwisata yang sudah teruji menghidupkan geopark di negara-negara dunia, sekaligus meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat. Geowisata mulai dibicarakan pada tahun 1956, pencetusnya  adalah Michele Gortani, geologis Italia yang mengatakan bahwa dalam pikiran para geologis, lanskap itu hidup dan berbicara pada mereka (Ngwira, 2015). Geowisata merupakan suatu bentuk pariwisata yang secara khusus memfokuskan pada ‘cerita’ geologi dan lanskap yang membentuk karakter suatu wilayah.

Geowisata membantu wisatawan meningkatkan pengetahuan tentang sumber daya alam dan geologi, serta identitas budaya lokal dan langkah-langkah untuk melestarikannya. Geowisata mendorong pengembangan produk-produk lokal dan melibatkan masyarakat dalam strategi-strategi inovatif dan geomarketing. Di negara-negara geopark dunia, telah banyak berkembang jalur-jalur geowisata (geotrails), geomuseum, geosport, bahkan georestaurant dan geobakeries, sebagai bentuk inovasi dari pengembangan geowisata dan geoproduk (Farsani dkk, 2010). Dengan mengembangkan geowisata, geopark memiliki peluang untuk menciptakan lapangan pekerjaan, mengembangkan kegiatan ekonomi baru, dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah.

LANGKAH AWAL MENGGIATKAN GEOWISATA DI GEOPARK
Pengembangan geowisata di geopark Indonesia, khususnya, masih berada pada tahap awal, dan belum memberikan nilai ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Perlu upaya yang lebih inovatif dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat agar dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat sekaligus meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan dan upaya konservasi.

Sejak tahun 2015, Kementerian Pariwisata mendorong perkembangan geowisata yang lebih inovatif melalui jalur geowisata tematik. Sebagai pilot, dimulai dari Geopark Rinjani-Lombok (NTB) dan Geopark Ciletuh (Jawa Barat). Pengembangan jalur geowisata tematik dilakukan bersama seluruh pihak, termasuk masyarakat, dimulai dari menggali potensi geologi, keanekaragaman hayati, dan budaya, sampai pada perencanaan interpretasi dan pelatihan interpretasi bagi para pemandu wisata dan pihak terkait.

Geopark Rinjani-Lombok mengembangkan empat jalur geowisata yang akan menjadi tema pengembangan produk pariwisatanya, yaitu a) Jejak Gunung Api Purba di Pesisir Barat Pulau Lombok; b) Jejak Gunung Api Purba di Lembah Sembalun; c) Gunung Api Termuda Rinjani; d) Lanskap Budaya Rinjani. Geopark Ciletuh juga telah menyusun jalur geowisata dengan lima tema pengembangan produk pariwisata: a) Menyusuri Curug, Surganya Pajampangan; b) Puncak Tertinggi Girimukti; c) Gemerlapnya Bebatuan Mandrajaya; d) Hamparan Bebatuan Ter-Hade di Surade; e) Jejak Fosil Tektonik di Ciletuh.

Tema-tema geowisata ini menjadi pemadu dan penyelaras pengembangan produk pariwisata di geopark. Melalui tema ini, pengembangan tiga pilar produk pariwisata: atraksi (daya tarik wisata geologi, keanekaragaman hayati, dan budaya), amenitas (fasilitas pariwisata, fasilitas umum, prasarana umum), dan aksesibilitas, diarahkan untuk membangun suasana dan geoproduk yang sesuai dengan tema.  Pengembangan jalur geowisata tematik di dua geopark diharapkan dapat diikuti oleh keempat geopark lainnya, terutama geopark yang sudah menjadi anggota Global Geopark Networks (GGN), sebagai bentuk inovasi dalam menarik kunjungan wisatawan yang lebih berkualitas, tidak hanya jumlah yang besar, tetapi juga manfaat yang besar bagi perekonomian dan lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA:

Farsani, N.T., Celeste C., dan Carlos C. (2010). Geotourism and Geoparks as Novel Strategies for Socio-economic Development in Rural Areas. International Journal of Tourism Research. Published online in Wiley Inter Science (www.interscience.wiley.com).
Ngwira, P.M. (2015). Geotourism and Geoparks; Africa’s Current Prospects for Sustainable Rural Development and Poverty Alleviation. Dalam From Geoheritage to Geoparks: Case Studies from Africa and Beyond. Switzerland: Springer International Publishing.
Rachmat, Heryadi (2015). Pemanfaatan Geodiversity untuk Pengembangan Geowisata dan Geopark (Studi Kasus: Gunung Kelimutu Flores Nusa Tenggara Timur). http://geopark-lusi.blogspot.co.id/ 2015/09/heryadi-pemanfaatan-geodiversity-untuk.html, diakses tanggal 26 Maret 2016.
Robinson, Angus M. (2015). Geotourism, Geoparks and Geotrails: A Tourism Development Opportunity for Australia. http://www.leisuresolutions.com.au/index.php/geotourism-industry-groups/, diunduh tanggal 26 Maret 2016.

Bandung, 26 Maret 2016

Tulisan ini saya ramu dari bahan-bahan yang tidak jadi digunakan dalam artikel yang disiapkan untuk Gatra edisi Maret 2016. Semoga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain.

Sabtu, 02 Mei 2015

SISTEM KEPARIWISATAAN: BERBAGAI SUDUT PANDANG

Kepariwisataan merupakan fenomena yang kompleks, melibatkan banyak sektor dan banyak aktor dalam pembangunannya. Komponen-komponen dalam kepariwisataan saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Hal ini menggambarkan bahwa kepariwisataan adalah sebuah sistem.
Pemikiran tentang kepariwisataan sebagai sebuah sistem mulai berkembang pada tahun 1964, ketika Wolfe mengembangkan outdoor recreation system dan mengemukakan bahwa pariwisata lebih dari sekedar industri tetapi sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen utama yang saling terkait dalam hubungan yang erat dan saling mempengaruhi (Gunn, 1994). Penelitian-penelitian tentang sistem kepariwisataan berkembang dengan pesat pada tahun 1970 – 1980-an, serta sebagian besar membahas tentang dasar teori dan konteks sistem kepariwisataan dalam proses perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan (Scarpino 2009).

1. Sistem Kepariwisataan sebagai Dasar Teori

Model sistem kepariwisataan sebagai dasar teori antara lain dibahas oleh Gunn (1972) dan Leiper (1981). Model sistem kepariwisataan Gunn lebih sarat dengan aspek-aspek ekonomi, yang mengemukakan keterkaitan antara sisi sediaan (supply) dengan permintaan (demand) serta faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya. Gunn berpendapat bahwa untuk memuaskan permintaan pasar, sebuah negara, wilayah, atau masyarakat harus menyediakan beragam pembangunan dan pelayanan (sisi sediaan). Kesesuaian antara sisi sediaan dengan sisi permintaan adalah kunci keberhasilan dalam pengembangan kepariwisataan yang benar (Gunn 2002).
Gunn kemudian menjelaskan bahwa keberhasilan sistem kepariwisataan dipengaruhi juga oleh faktor-faktor eksternal. Beberapa faktor dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap bagaimana kepariwisataan harus dikembangkan (ibid). Gunn mengidentifikasi sembilan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi sistem kepariwisataan, yaitu sumber daya alam, sumber daya budaya, organisasi/kepemimpinan, keuangan, tenaga kerja, kewirausahaan, masyarakat, kompetisi, dan kebijakan pemerintah (Gunn 2002). Model sistem kepariwisataan Gunn dapat dilihat pada gambar di bawah ini.


                                              Sumber: dimodifikasi dari Gunn 2002

Gambar 1 Sistem kepariwisataan Gunn (1972)-dimensi ekonomi
Berbeda dengan Gunn, Leiper (1981 dalam Getz 1986) memandang sistem kepariwisataan dari dimensi spasial. Gunn mengungkapkan bahwa sistem kepariwisataan merupakan hubungan yang saling ketergantungan antara daerah pembangkit wisatawan dengan destinasi pariwisata (ibid).
Model Leiper mengidentifikasi lima komponen dalam sistem kepariwisataan, yaitu wisatawan, daerah tempat tinggal wisatawan, jalur transit, destinasi pariwisata, dan industri pariwisata. Leiper juga mengemukakan bahwa pariwisata terjadi jika satu saja dari komponen-komponen tersebut ada dalam suatu proses yang saling terkait (Leiper dalam Pratiwi 2010). Sistem kepariwisataan Leiper dapat dilihat pada gambar berikut ini.



Sumber: Leiper dalam Pratiwi 2010
Gambar 2 Sistem kepariwisataan Leiper (1981)-dimensi spasial

2. Sistem Kepariwisataan dalam Proses Perencanaan/Pengelolaan Pariwisata

Model sistem kepariwisataan yang mengaitkannya dengan konteks proses perencanaan/pengelolaan pariwisata dikemukakan antara lain oleh Mill & Morrison (1985), yang kemudian dikembangkan pada tahun 1992, serta Cornellisen (2005). Mill & Morrison mengungkapkan empat komponen pembentuk sistem kepariwisataan, yaitu market (pasar), marketing (pemasaran), destination (destinasi/daerah tujuan wisata), dan travel (perjalanan).
-  Market (pasar): mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi pasar dengan penekanan pada perilaku pasar, faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perjalanan wisata, dan proses pengambilan keputusan berwisata.
-  Marketing (pemasaran): menfokuskan pada strategi bagaimana pengelola pariwisata merencanakan, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa kepada wisatawan.
-  Travel (perjalanan): fokus pada pergerakan wisatawan, moda transportasi, dan segmen pasar.
-  Destination (destinasi/daerah tujuan wisata): mencakup proses dan prosedur yang dilakukan oleh destinasi pariwisata dalam pembangunan dan mempertahankan keberlanjutan kepariwisataan.

Model Mill & Morrison dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
 

                           Sumber: Scarpino 2009, berdasarkan pada Mill&Morrison (1992)

Gambar 3 Sistem kepariwisataan Mill&Morrison (1985)-konteks perencanaan/pengelolaan kepariwisataan

Pada awalnya, model sistem kepariwisataan yang dikembangkan oleh Mill & Morrison merupakan model linier, yang menjelaskan hubungan linier antara komponen-komponen di dalamnya, dan  mendapat banyak kritik karena dianggap bukan sebuah sistem. Pada tahun 1992, modelnya disempurnakan dan menunjukkan karakter sistem kepariwisataan yang lebih kuat, walaupun tetap dengan empat komponen utama yang sama dengan model awal.
Model Mill & Morrison menjelaskan bahwa pemasaran menjual destinasi kepada pasar/wisatawan, sementara travel mengantarkan pasar ke destinasi pariwisata. Seluruh komponen tersebut harus dipahami, direncanakan, dan dikelola dengan baik sehingga dapat membangun sistem kepariwisataan yang positif dan memberikan manfaat yang optimal bagi destinasi dan masyarakatnya.
Model sistem kepariwisataan lain yang terkait dengan proses perencanaan/pengelolaan dikembangkan juga oleh Cornelissen pada tahun 2005 yang merupakan pengembangan dari pemikiran Britton (1991) tentang sistem produk pariwisata. Cornelissen menamakan modelnya sebagai The Global Tourism System (Cornelissen 2005).
Cornelissen mengemukakan bahwa pariwisata global memerlukan pasar yang berbeda/spesifik didasarkan pada pertukaran antara produsen dan konsumen pariwisata. Pada sisi permintaan (demand), hal tersebut terdiri dari kelompok-kelompok sosial dengan karakteristik sosial ekonomi dan sosial budaya, minat, kebutuhan, dan keinginan tertentu. Pada sisi sediaan (supply) terdiri dari produsen-produsen yang berinteraksi, inovasi, dan bersaing. Keterkaitan antara produsen dimonitor dan diatur oleh lembaga-lembaga yang mengatur perkembangan/ berjalannya pariwisata (Cornelissen 2005).
The Global Tourism System dapat dilihat pada gambar berikut.



                                           Sumber: Cornelissen 2005
                                         Gambar 4 The Global Tourism System - konteks perencanaan/pengelolaan kepariwisataan

Model sistem kepariwisataan yang dikemukakan oleh Cornelissen ini pada dasarnya melihat kepariwisataan dari dua sisi yang sama dengan yang dikemukakan juga oleh Gunn (1972), yaitu sediaan (supply) dan permintaan (demand), tetapi dengan dengan tambahan komponen lembaga-lembaga pengatur sebagai komponen kontrol.
Keempat sistem kepariwisataan tersebut pada prinsipnya mencakup dua komponen utama, yaitu permintaan (pasar) dan sediaan (supply). Komponen sediaan terdiri dari daya tarik wisata, akomodasi, transportasi (produsen dan produknya) yang diwadahi di destinasi pariwisata. Komponen permintaan terdiri dari keinginan,  kebutuhan, dan persepsi wisatawan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis, psikografis, ekonomi, dan sosial. Seperti sistem kepariwisataan yang dikemukakan oleh Gunn, faktor-faktor eksternal dapat mempengaruhi kinerja sistem kepariwisataan.
Mengacu pada keempat model sistem kepariwisataan tersebut, penulis mengembangkan model sistem kepariwisataan yang menggabungkan komponen-komponen utama dari keempat sistem. Model sistem kepariwisataan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.


Model di atas menjelaskan bahwa sistem kepariwisataan terdiri dari tiga komponen utama, yaitu permintaan, sediaan, dan perantara. Komponen permintaan dan sediaan sudah dijelaskan dengan rinci sebelumnya. Komponen perantara terdiri dari elemen-elemen yang menghubungkan antara permintaan dengan sediaan, yang mengantarkan pasar pariwisata untuk memenuhi keinginan/preferensi dan kebutuhannya terhadap sediaan pariwisata di destinasi pariwisata yang ditujunya. Seperti juga yang dijelaskan oleh Gunn (2002), kinerja sistem kepariwisataan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, antara lain kebijakan pemerintah, kondisi keuangan/ekonomi, kondisi alam dan budaya, masyarakat, kewirausahaan, dan kompetisi.

  
Daftar Pustaka 

Cornelissen, Scarlett. The Global Tourism System: Governance, Development And Lessons from South Africa (New Directions in Tourism Analysis). Africa: Ashgate Publishing, 2005.
Gunn, C. A dengan Var, Turgut. Tourism Planning: Basics, Concepts, Cases, 4th edition. New York: Routledge, 2002.
Mathieson, A. dan Wall, G. Tourism: Economic, Physical and Social Impacts. New York: Longman, 1982.
Mill, R.C., dan Morrison, A.M. The Tourism System: An Introductory Text. New Jersey: Prentice Hall International, Inc., 1985.
Pratiwi, W. D. Sistem Penawaran dan Permintaan, Kuliah 9. Bahan kuliah Elemen dan Sistem Kepariwisataan 21 Oktober 2010 Magister Terapan Perencanaan Kepariwisataan. Bandung: ITB, 2010.
Scarpino, Michelle. Tourism System: An Analysis of The Literature for Improved Subnational Development.. diunduh dari www.conferencedevelopment.com tanggal 12 Desember 2010. San Sebastian, Spanyol, 2009.

Kamis, 06 Februari 2014

Pariwisata Kreatif Pulau Belitong

Berminat liburan di Pulau Belitong? Boleh cek nih, paket-paket wisata kreatif di bawah ini.... Asiikkk pokoknya, wisatawan diajak aktif terlibat di seluruh programnyaaa...dahsyatt, dehh, pengalamannya, terutama kontak dengan masyarakat dan budayanya... Seerrruuuu..!!





Minggu, 04 November 2012

DARI KEADILAN SOSIAL KE ETIKA KEPEDULIAN

“merupakan sari materi Bab 5 From Social Justice to Ethics of Care dari buku “The Ethics of Tourism Development: Contemporary Geographies of Leisure, Tourism, and Mobility”

oleh Mick Smith dan Rosaleen Duffy, tahun 2003”

I.       PENDAHULUAN

Teori-teori keadilan sosial muncul ketika ketidakadilan berkembang di negara-negara barat sebagai dampak buruk dari imperialisme. Pariwisata kemudian menjadi salah satu solusi bagi keterpurukan ekonomi sehingga negara-negara tersebut dapat kembali hidup layak dan melakukan pembangunan negaranya (Kaplan, 1996 dalam Smith dan Duffy, 2003: 91).

Tulisan ini merupakan tinjauan terhadap bab 5 dari buku “The Ethics of Tourism Development: Contemporary Geographies of Leisure, Tourism, and Mobility” yang berjudul From Social Justice to Ethics of Care, ditulis oleh Mick Smith dan Rosaleen Duffy. Bab tersebut membahas tentang pergeseran etika sosial, dari mulai berkembangnya ‘paham’ keadilan sosial sampai munculnya etika kepedulian.

Pembahasan terhadap hasil tinjauan akan dibagi menjadi empat bagian, sesuai dengan isi bab dalam buku, yaitu tentang keadilan sosial, yang membahas perkembangan pandangan terhadap keadilan sosial dan teori-teori yang berkembang mengikutinya serta kritik terhadap teori yang ada; tentang etika komunikatif, selain membahas tentang definisi, juga tentang siapa yang terlibat, serta kritik terhadap pandangan etika komunikatif; tentang paham feminist dan etika kepedulian yang membahas latar belakang munculnya feminist, dukungan yang diberikan, serta perbedaan antara etika kepedulian dan keadilan sosial; terakhir adalah tentang etika perbedaan yang akan membahas latar belakang munculnya etika perbedaan dan definisinya. ‘Kepedulian’ dan ‘perbedaan’ merupakan dua hal cenderung mendominasi teori etika modern.

II.     KEADILAN SOSIAL

Pencetus teori keadilan/Theory of Justice, John Rawls (1973 dalam Smith dan Duffy, 2003: 91), mengemukakan bahwa keadilan merupakan kebaikan yang utama dari institusi sosial, sedangkan kebenaran lebih berupa sistem pemikiran. Lebih jauh lagi, Rawls mengatakan bahwa setiap orang memiliki pendirian tentang keadilan yang tidak dapat diganggu gugat oleh apa pun, termasuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak akan terpengaruh oleh kekuatan politik maupun pertimbangan-pertimbangan kepentingan sosial. Rawls juga menegaskan bahwa ‘keadilan’ dan ‘kebenaran’ tidak bisa dikompromikan.

Aristotle (1986 dalam Smith dan Duffy, 2003: 92) mendefinisikan keadilan sebagai kebaikan yang lengkap dan utuh karena merupakan kunci dalam mempertahankan keseimbangan sosial yang harmonis antara masyarakat. Aristotle mengemukakan bahwa keadilan adalah kumpulan dari seluruh kebaikan.

Aristotle maupun Rawls berpendapat bahwa kurangnya keadilan akan mengancam kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Rawls juga mendukung ide Aristotle tentang ‘justice as fairness’. Orang-orang merasakan ketidakadilan ketika mereka tidak diperlakukan secara fair, sama rata, dan sudah dieksploitasi untuk menghasilkan manfaat bagi kelompok-kelompok istimewa tertentu. Ketidakadilan seringkali didefinisikan sebagai ketidakcukupan, ketidaksamaan, dan atau ketidakmerataan. Pada akhirnya, keadilan dipandang sebagai distribusi yang fair dari kekuasaan, barang, dan lain-lain di dan antara masyarakat.

A.     Jenis Keadilan

Berdasarkan paham-paham yang dikebangkannya, Aristotle (1986 dalam Smith dan Duffy, 2003: 92) membedakan keadilan menjadi dua, yaitu

·         Keadilan distributif, yaitu setiap orang mendapatkan bagian dari barang sosial yang didistribusikan.

·         Keadilan retributif, yaitu memberikan seseorang hukuman/penghargaan yang pantas sesuai dengan tindakan yang telah dilakukannya.

Pengembangan kepariwisataan saat ini lebih fokus pada ‘keadilan distributif’ dan hubunganya dengan kelembagaan sosial. Perdebatan yang kemudian berkembang untuk keadilan distributif adalah ‘apa ukuran bagi  distribusi yang fair?’ Sementara itu, untuk keadilan retributif, perdebatannya adalah pada ukuran penghargaan/hukuman yang harus diterima oleh semua pihak yang terlibat.

B.     Berbagai Pandangan tentang Keadilan Sosial

Penulis buku “The Ethics of Tourism Development: Contemporary Geographies of Leisure, Tourism, and Mobility”, Smith dan Duffy (2003), mengemukakan perkembangan berbagai pandangan tentang keadilan sosial. Pandangan tentang keadilan sosial yang berkembang sebagai awal respon dari teori dan paham keadilan Rawls dan Aristotle adalah pandangan bahwa keadilan adalah proporsional antara kontribusi, kebutuhan, dan distribusi beban/manfaat.  Pandangan berikutnya yang muncul sebagai respon dari pandangan pertama adalah pandangan bahwa keadilan merupakan proporsionalitas antara kemampuan dan kebutuhan dengan distribusi beban/manfaat. Pandangan berikutnya merupakan pandangan tentang keadilan yang menghilangkan unsur-unsur identitas diri agar secara objektif dapat diterima oleh seluruh pihak.


 

-          Keadilan: proporsional antara kontribusi dan/atau kebutuhan dengan distribusi beban/manfaat yang diterima

Pandangan pertama tentang keadilan memandang keadilan sebagai distribusi yang proporsional antara kontribusi dan/atau kebutuhan dengan beban/manfaat yang diterima. Seseorang yang memberikan kontribusi yang besar, berhak mendapatkan manfaat yang sama besarnya dengan kontribusi yang diberikan. Pandangan ini juga menganggap bahwa seseorang berhak mendapatkan lebih karena kebutuhannya lebih tinggi dan mendesak.

Pandangan ini menganggap bahwa egalitarian, yaitu para penganut semua harus mendapatkan porsi yang sama, jauh dari rasa keadilan. Walaupun demikian, prinsip-prinsip equality/kesamarataan tidak berarti salah secara prinsip. Perdebatan yang kemudian muncul adalah apakah manfaat lebih yang diterima dapat dibenarkan atau tidak. Subjektivitas sangat kental pada pandangan ini, diterima atau tidaknya keadilan sangat dipengaruhi oleh identitas dirinya (sejarah, karakteristik demografis, dan latar belakang sosial).

Hasil penelitian World Health Organization (1999 dalam Smith dan Duffy, 2003: 94) menyimpulkan bahwa perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat dapat diterima jika didasarkan pada perbedaan yang relevan secara moral antara individu. Distribusi beban dan manfaat yang sama rata tidak menjadi persoalan ketika subjek-subjek yang dimaksud tidak melibatkan individu atau masyarakat yang ‘rentan’.

Dalam diagram batang, dua kemungkinan distribusi beban/manfaat yang telah dijelaskan di atas dapat dilhat pada gambar berikut.


Sumber: dimodifikasi dari Smith dan Duffy, 2003: 93

Gambar 1. Dua kemungkinan distribusi barang-barang sosial, distribusi yang tidak sama rata banyak menimbulkan perdebatan siapa berhak mendapatkan berapa


 

-          Keadilan: proporsional antara kemampuan dan kebutuhan

Pandangan ini muncul sebagai respon dari kemungkinan terjadinya ketidakmerataan yang berlebihan pada pandangan yang pertama tentang keadilan. Keadilan dipandang sebagai hubungan yang proporsional antara kemampuan yang dimiliki dan kebutuhan masing-masing. Jadi, jika pada pandangan pertama beban/manfaat yang didistribusikan disesuaikan dengan kontribusi yang diberikan, maka pada pandangan kedua ini, beban didistribusikan sesuai dengan kemampuan pihak-pihak yang terlibat, dan manfaat didistribusikan sesuai dengan kebutuhan penerima manfaat. Pandangan ini mencoba membatasi gap antara kaya dan miskin, orang yang berkuasa dan tidak berkuasa.

Pandangan kedua tentang keadilan ini dianut oleh kaum komunis dengan tokohnya adalah Karl Marx (1974 dalam Smith dan Duffy, 2003: 94). Slogan yang sangat terkenal dari kaum komunis ini adalah “from each according to his abilities, to each according to his needs”. Menurut Marx, pemerataan distributif yang sederhana saja tidak cukup, kemampuan dan kebutuhan harus dipertemukan agar setiap orang mendapatkan manfaat yang sesuai.

-          Keadilan: dapat terjadi ketika posisi aktual individu dalam masyarakat yang kontemporer diabaikan

Teori-teori keadilan setuju bahwa ketidakmerataan diperlukan dan dapat dipertahankan dalam lingkungan masyarakat yang fair. Rawls kemudian mempertanyakan prinsip-prinsip apa yang mendasari pembagian hak dan kewajiban serta distribusi dari beban dan manfaat dalam suatu ‘kontrak’ yang, setidaknya dalam teori, setiap orang akan dengan senang hati menyetujuinya.

Rawls mencoba mengajukan eksperimen pemikiran untuk menemukan prinsip-prinsip yang dimaksud. Eksperimen ini harus dilakukan pada tingkat keadilan yang abstrak karena jika tidak, akan kembali lagi pada keadilan distributif, yang sangat sulit diterima atau banyak menimbulkan ketidaksetujuan yang sangat kuat di kalangan masyarakat. Ketidaksetujuan ini muncul karena pandangan orang dibiaskan oleh posisi aktualnya pada masyarakat kontemporer. Rawls mengajukan contoh bahwa seorang jutawan yang bergerak dalam bisnis sex tourism sangat wajar jika memiliki perspektif terhadap distribusi pendapatan yang berbeda dengan para pekerja seks komersial (PSK) yang terpaksa bekerja di industri yang sama karena kemiskinan.

Eksperimen Rawls mengajak orang untuk membayangkan bahwa individu-individu yang membahas konstitusi dari lingkungan masyarakat yang adil, benar-benar dilepaskan dari kehidupan nyatanya sehari-hari. Diskusi akan terjadi dalam ‘veil of ignorance’, individu dibentengi dari pengetahuan tentang keberadaan sebelumnya dan ketidakmerataan dalam posisi sosial mereka. Mereka kemudian menempati ‘original position’ dari kesamarataan sehingga dicapai situasi hipotetis yang murni, yaitu tidak ada orang yang mengetahui tempatnya dalam masyarakat, posisi kelasnya atau status sosialnya, kekayaannya dalam distribusi asset alam, kemampuannya, kecerdasannya, kekuatannya, dan kegemarannya (Rawls, 1973 dalam Smith dan Duffy, 2003: 95). Jadi, pada skenario imajinasi ini, para pengusaha di sex tourism tidak mengetahui apa pun tentang kekayaannya, para PSK tidak mengetahui apa pun tentang perannya dalam bisnis sex tourism. Mereka berpijak pada posisi yang sama, menjadi orang yang rasional, yang menginginkan jaminan dasar terhadap kebebasan.

Rawls mengatakan hanya dengan cara seperti ini mereka dapat menjamin bahwa ada jaring pengaman minimal yang melindungi mereka dari posisi yang tidak menguntungkan ketika memasuki suatu lingkungan masyarakat. Pada kondisi seperti ini, ketidakmerataan akan lebih mudah diterima, terutama ketika ketidakmerataan harus ada untuk memperoleh manfaat bersama. Misalnya, dalam masyarakat egalitarian, tidak ada insentif bagi seseorang untuk bekerja keras atau berinovasi selama manfaat dari kerja kerasnya tidak bertambah secara langsung kepada individu yang bersangkutan. Dengan demikian, distribusi manfaat yang berbeda kepada individu dapat menjadi insentif yang pada akhirnya akan meningkatkan besarnya manfaat keseluruhan yang dihasilkan untuk semua.

Berdasarkan eksperimen pemikirannya, Rawls menemukan dua prinsip keadilan, yaitu:

1.        Setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan dasar paling luas, sama dengan kebebasan bagi orang lain.

2.       Ketidakmerataan sosial dan ekonomi diatur sehingga menjadi harapan yang beralasan bagi keuntungan yang diperoleh setiap orang, serta terkait pada posisi dan peran yang terbuka untuk semua.

Dengan prinsip-prinsip tersebut, ketidakmerataan menjadi lebih dapat diterima oleh semua orang, walaupun tidak dapat diberlakukan secara universal.

 


Sumber: dimodifikasi dari Smith dan Duffy, 2003: 97

Gambar 2. Rawls menganggap distribusi yang tidak merata dapat lebih diterima pada posisi ini  karena semua pada akhirnya mendapatkan manfaat yang lebih dibandingkan pada saat distribusi dilakukan secara merata

Pandangan Rawls yang terakhir tentang keadilan ini menimbulkan kritik dari komunitarian Michael Sandel (1992 dalam Smith dan Duffy, 2003: 98-99). Kritik Sandel terhadap eksperimen pemikiran Rawls adalah:

       Menganggap pemikiran Rawls yang disebutnya ‘unencumbered self’ sebagai sesuatu yang tidak tepat karena justru nilai-nilai yang dianut individu, perbedaan budaya, dan hubungan sosiallah yang membuat individu dapat dikenali di lingkungan tertentu. ‘Veil of ignorance’-nya Rawls hanya dapat berlaku jika tidak ada perbedaan yang signifikan antara individu-individu yang terlibat dalam konstitusi, karakteristik individunya cenderung homogen.

       Tidak realistis memisahkan unsur/karakteristik seseorang dengan posisi originalnya dalam masyarakat karena hal tersebut merupakan komponen utama dari diri seseorang.

       Nilai-nilai etika adalah bagian utama dari pemahaman diri dan individualitas.

       Nilai etika bukan sekedar preferensi seseorang, tetapi diperoleh dari hubungan sejarah dan sosial dengan orang lain, atau dengan kata lain diarahkan secara komunal.

       Nilai etika, individu, dan masyarakat merupakan komponen-komponen yang terkait dan tidak dapat dipisahkan.

C.      Isu-isu Keadilan Sosial dalam Pariwisata

Perkembangan pariwisata sangat rentan terhadap isu-isu keadilan sosial. Selain karena banyaknya pihak yang terlibat dengan tingkat kepentingan dan jenis kebutuhan yang berbeda, isu-isu keadilan sosial dalam pengembangan kepariwisataan juga muncul karena pengaruh faktor-faktor eksternal, seperti ekonomi, politik, keamanan, dan budaya. Isu-isu keadilan sosial yang dibahas dalam bab 5 buku “The Ethics of Tourism Development: Contemporary Geographies of Leisure, Tourism, and Mobility” adalah:

·         Perkembangan sex tourism di Asia Tenggara yang seringkali dikaitkan dengan moralitas prostitusi dari para pekerja seks komersial. Hall (1997 dalam Smith dan Duffy, 2003: 92) melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Hall melihat persoalan kunci dari etika yang berkembang pada sex tourism di Asia Tenggara adalah permasalahan gender dan ketidakmerataan ekonomi. Hall memandang terdapat keterkaitan antara paham patrialistik (laki-laki lebih kuat) dengan eksploitasi terhadap kaum perempuan di Asia Tenggara. Selain itu, ketidakmerataan ekonomi juga menjadi menyebab munculnya sex tourism yang sebagian besar pekerjanya berasal dari daerah-daerah dengan kondisi perekonomian yang buruk. Keadilan distributif yang proporsional antara manfaat dan kebutuhan seharusnya diterapkan untuk mengurangi perkembangan sex tourism  di Asia Tenggara.

·         Pemberlakuan tarif masuk berlapis ke taman-taman nasional di Zimbabwe (Smith dan Duffy, 2003: 94). Tarif paling murah diberlakukan bagi masyarakat setempat/wisatawan lokal, tarif bagi wisatawan regional lebih tinggi dibandingkan tarif bagi wisatawan lokal, dan tarif tertinggi dikenakan bagi wisatawan internasional. Bagi wisatawan, hal ini dianggap tidak adil karena pengalaman yang diperoleh seluruh wisatawan adalah sama. Alasan yang dijadikan dasar pertimbangan Pemerintah Zimbabwe adalah pemahaman mengenai prinsip-prinsip keadilan yang dikembangkan oleh Karl Marx, yaitu pembagian beban disesuaikan dengan kemampuan kelompok individu tertentu. Masyarakat setempat dengan kondisi perekonomian yang buruk memiliki kemampuan finansial yang rendah terutama untuk membiayai pemenuhan kebutuhan berwisatanya. Masyarakat dari wilayah lain dianggap lebih mampu karena memiliki alokasi dana untuk berwisata ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya, apalagi wisatawan internasional. Pemberlakukan tarif berlapis dilakukan agar masyarakat setempat mendapatkan peluang yang sama untuk mengonsumsi sumber daya pariwisata yang terletak di wilayahnya.

·         Tenaga kerja ilegal pariwisata dari Guatemala yang bekerja di Belize. Para tenaga kerja migran ini pindah dari Guatemala yang kondisi ekonomi dan politiknya sedang kacau. Tetapi, di Belize mereka dibayar dengan sangat rendah dan hidup dalam kondisi yang buruk. Perdebatan yang kemudian muncul adalah mana yang lebih adil, membiarkan mereka hidup di negaranya dengan tekanan politik dan ekonomi yang membuat para migran ini hidup tertekan dan menderita atau hidup dengan kondisi ekonomi terbawah di Belize (Smith dan Duffy, 2003: 95).

·         Para pekerja di Afrika Selatan yang terkesan malas, santai, dan tidak ramah dianggap sebagai persoalan etika bagi para wisatawan. Wisatawan menganggap bahwa ketertinggalan pembangunan di Afrika Selatan disebabkan karena budaya malas dan santai dari masyarakatnya. Patullo (1996 dalam Smith dan Duffy, 2003: 95) memandangnya dari sudut pandang kesenjangan budaya utara selatan. Orang-orang utara (Afrika Utara) merupakan para ‘tuan’, sedangkan orang-orang selatan merupakan budak. Fenomena ini memunculkan prioritasi pembangunan yang berbeda antara utara dan selatan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakmerataan ekonomi, kesehatan, pendidikan, yang berakibat pada rendahnya kualitas pelayanan pariwisata.

III.  ETIKA KOMUNIKASI

Etika komunikasi muncul sebagai respon dari eksperimen pemikiran Rawls yang melibatkan komunikasi dalam pembahasan dan penyepakatan keadilan yang dapat diterima oleh semua pihak. Ide ini muncul dari ahli sosial Jerman, Jürgen Habermas, yang juga tidak sepakat dengan ‘original position’ dan ‘unencumbered self’ yang digunakan Rawls untuk mengembangkan teori keadilannya, tetapi menganggap Rawls sudah melakukan hal yang benar dalam merumuskan keadilan sebagai sesuatu yang muncul dari suatu perbincangan/diskusi antara pihak-pihak yang berkepentingan. Habermas berpendapat terdapat sesuatu yang instrinsik dalam tindakan komunikasi yang dilakukan, untuk terlibat dalam perbincangan rasional dengan yang lain yang mengasumsikan terjadinya timbal-balik antara pembicara. Menurut Habermas, komunikasi yang sebenarnya terjadi ketika:

       Kita dapat mendengarkan dan mempertimbangkan ide orang lain.

       Bersedia mengembangkan ide sehingga orang lain dapat mengkritisi ide kita dari perspektif masing-masing.

       Memberikan penjelasan atas posisi pembicara hanya jika diminta.

       Tujuan perbincangan yang sebenarnya adalah mencapai kesepakatan dan konsensus yang sebenarnya (Mc.Carthy, 1984 dalam Smith dan Duffy, 2003: 102)

Tiga aspek penting dalam komunikasi manusia yang berlaku universal, di seluruh budaya masyarakat, adalah pembicaraan yang timbal-balik, saling menghargai, dan menemukan resolusi.

Habermas mengemukakan ada beberapa hal yang menjadi penting dalam mengembangkan pembicaraan/komunikasi yang rasional, seperti yang dilakukan Rawls untuk merumuskan teori keadilan, yaitu membangun ‘ideal speech situation’.  Ideal speech situation

       Menghargai posisi orang lain dengan memberikannya ruang untuk menjelaskan kepercayaan dan nilai-nilai yang dianutnya.

       Bersedia mengubah perspektif dirinya sehingga hasil dari diskusi yang dilakukan tergantung dari kekuatan argumentatif dari beragam posisi individu yang terlibat. Argumentasi yang terbaik yang akan menjadi keluaran yang disepakati bersama.

       Faktor-faktor eksternal harus diabaikan, seperti kekuasaan dan kewibawaan pembicara tertentu yang dapat mempengaruhi dan membuat pihak lain tertekan.

Keunggulan ‘ideal speech situation’ Habermas dibandingkan ‘original position’ Rawls:

       Orang-orang yang terlibat bukan ‘unencumbered self’ (pribadi yang mengabaikan dirinya), tetapi ‘the real people’ (orang dengan semua nilai yang utuh dan pengetahuan yang penuh tentang peran dan hubungan sosialnya).

       Tidak ada kesamarataan yang dibuat-buat, tidak perlu upaya dari setiap orang untuk mengidentikkan situasi di luar kehidupan sehari-harinya.

       Ide keberpihakan/impartiality didasarkan pada argumentasi mereka sendiri, tidak perlu dibawa dari luar.

       Dapat diaplikasikan secara universal.

Salah satu pendukung ‘ideal speech situation’ Habermas adalah Dryzek (1999 dalam Smith dan Duffy, 2003: 103-104). Dryzek mengatakan pendekatan Habermas dapat digunakan untuk melegitimasi kesimpulan yang muncul dari pertemuan antara masyarakat, organisasi nonpemerintah, aktivis. Lebih jauh lagi, Dryzek mengemukakan bahwa legitimasi demokratis didapat bukan dari pengambilan suara/voting atau representasi dari orang/kepentingan, tetapi dari musyawarah untuk mufakat

Disamping keunggulan, ‘ideal speech situation’ memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

       Membutuhkan waktu yang banyak/lama untuk mencapai kemufakatan dengan melibatkan banyak pihak dengan banyak kepentingan.

       Tidak cocok dengan persyaratan bisnis, persyaratan pemerintah kontemporer, atau kelembagaan internasional.

       Menimbulkan perdebatan tentang siapa saja yang harus dilibatkan dalam perbincangan/diskusi yang dilakukan dan apakah setiap orang mendapatkan hak suara yang sama.

       Belum tentu semua pihak dapat berkontribusi dengan sungguh-sungguh dalam diskusi.

Kritik terhadap ‘ideal speech situation’ muncul dari Benhabib 1990 dalam Smith dan Duffy, 2003: 105) dan Steven Vogel (1996 dalam Smith dan Duffy, 2003: 105). Kritik mereka terhadap Habermas adalah:

1.        Persetujuan tidak pernah dapat dijadikan kriteria untuk apa pun, baik kebenaran ataupun validitas moral. Kenyataan bahwa suatu kelompok pada akhirnya mencapai kesepakatan yang berbeda dengan pendapatnya tidak menunjukkan bahwa kompromi secara etika lebih unggul terhadap posisi original pembicara. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa posisi original pembicara mempengaruhi kompromi yang dicapai. Benhabib memandang bahwa konsensus hanyalah sebuah hasil akhir, padahal yang terpenting adalah proses dan tingkat kepentingan dari dialog yang dilakukan (Benhabib).

2.       Habermas dianggap membuat perbedaan antara nilai etika dengan norma dan prosedur moral. Habermas dianggap seolah-olah mengesampingkan pencapaian konsensus tentang nilai-nilai etika sebenarnya yang sangat beragam. Etika komunikasi hanya dapat menyelesaikan persoalan moral, yaitu norma dan peraturan yang mempengaruhi kehidupan manusia (Vogel).

IV.  FEMINISME DAN ETIKA KEPEDULIAN

Paham feminisme dan etika kepedulian muncul dilatarbelakangi oleh konsep Habermas tentang etika komunikasi yang merupakan proses debat dari individu-individu yang rasional yang mengundang pertanyaan tentang ‘apa yang dianggap sebagai alasan moral’ yang melandasi pemikiran rasional seseorang. Habermas meyakini bahwa individu memperoleh ‘alasan moral’ terhadap nilai-nilai yang dianutnya ketika dia sudah dewasa. Nilai moral seseorang muncul ketika ia dewasa, dipengaruhi oleh norma-norma moral dari masyarakat di sekitarnya.

Pendapat Habermas ini didasarkan pada teori psikologi yang dikeluarkan oleh Lawrence Kohlberg (Habermas 1990, dalam Smith dan Duffy, 2003: 106-107). Kohlberg mengatakan bahwa anak-anak memulai kehidupannya tanpa perhatian pada etika, mereka tertarik hanya pemenuhan kebutuhan dirinya. Secara bertahap, mereka mulai beradaptasi dengan norma-norma moral dalam masyarakat, yang pada awalnya tanpa bercermin pada atau mengkritisi norma-norma tersebut. Pada saat mereka mencapai kedewasaan moral, yang ditandai dengan mereka mulai dapat menerapkan abstrak dari prinsip-prinsip moral, seperti kesamarataan, keadilan, dan lain-lain, ke dalam kasus-kasus yang berbeda. Hal ini lah yang disebut ‘alasan moral’.

Kohlberg menganggap bahwa laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik pencapaian yang berbeda terhadap kedewasaan moral. Perempuan lebih sedikit kemungkinannya untuk mencapai tahap tersebut, hanya sedikit dari mereka yang memiliki kemampuan ‘alasan moral’. Hal ini disebabkan perempuan lebih berpikir komplek terhadap penilaian moral yang dibuatnya didasarkan pada pemahaman detilnya tentang situasi dan konteks tertentu, termasuk hubungan personal. Laki-laki dianggap lebih mudah mencapai tahap kedewasaan moral karena kaki-laki lebih berbicara hal abstrak dari keadilan dan mereka lebih otonom, rasional, dan independen (Chodorow, 1978 dalam Smith dan Duffy, 2003: 107).

Gilligan tidak begitu sependapat dengan Kohlberg. Gilligan beranggapan bahwa keotonomian dirilah yang banyak mendasari teori-teori etika modern, bukan gender maupun budaya. Giligan berpendapat bahwa permasalahan moral muncul lebih karena konflik tanggung jawab, bukan persaingan hak. Gilligan mengatakan bahwa alasan etika adalah sebuah model berpikir yang kontekstual dan naratif dibandingkan formal dan abstrak, didasarkan kepedulian pada hal-hal yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari yang membentuk hubungan etika yang berbeda, atau kemudian dikenal sebagai etika kepedulian. Hal ini tidak berarti menunjukkan bahwa ‘etika kepedulian’ ini lebih unggul dibandingkan ‘etika keadilan’. Menurut Gilligan, etika kepedulian memiliki perbedaan dengan etika keadilan:

       ETIKA KEPEDULIAN terkait dengan keberpihakan (partiality)

       ETIKA KEADILAN terkait dengan ketidakberpihakan (impartiality)

Lebih jauh, Gilligan mengatakan bahwa kedua pendekatan ini memiliki tingkat kepentingan yang sama dan dapat dikombinasikan untuk membentuk kondisi yang lebih harmonis, suatu nilai etika yang baru, yaitu etika keadilan dan kepedulian, walaupun masih sangat sulit dan belum ditemukan caranya untuk saat ini.

V.    ETIKA PERBEDAAN

David M. Smith mencoba melihat keterkaitan antara Etika kepedulian dan communitarianism. Smith menemukan beberapa persamaan berikut:

·         Etika kepedulian dan communitarianism lebih menekankan pada hubungan yang terbangun dibandingkan gagasan otonomi diri

·         Menerapkan parsialitas/keberpihakan

·         Sangat bergantung pada kedekatan terhadap perhatian orang-orang untuk membuat moralitasnya bekerja

·         Mengkritisi tradisi modern yang dominan dalam etika yang mencoba membumikan pertimbangan moralitas didasarkan pada fitur yang dapat dibagi secara universal atau fitur-fitur seperti kepentingan pribadi, rasionalitas, dan lain-lain.

Pendekatan-pendekatan moralitas modern, seperti etika kepedulian dan communitarianism lebih menekankan pada identitas diri dibandingkan etika-etika kebaikan yang terkait dengan posisi individu dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, Smith mengatakan bahwa dua pendekatan ini mengacu ke bentuk-bentuk pre-modern. Hal ini merupakan suatu kesalahan karena sebenarnya etika kepedulian itu cenderung lebih post-modern, seperti juga ‘etika perbedaan’, karena menekankan pada positifistik, teknokratik, rasionalistik, menghilangkan hierarki antara budaya rendah dan tinggi.

Etika perbedaan muncul ketika fokus pengembangan etika tidak lagi pada identitas diri, tetapi pada perbedaan-perbedaan. Karakteristik dari etika perbedaan adalah:

       Terbangunnya hubungan yang saling menghargai dan memprioritaskan kebutuhan yang lain.

       Tidak menganggap orang lain sebagai instrumen untuk mencapai keinginan.

       Orang lain memiliki peran dan fungsi yang spesifik yang harus dihargai.

       Perbedaan dijunjung tinggi karena menyadari keterbatasan yang dimiliki.

       Etika dianggap hubungan yang tidak berbatas.

       Hal yang dipertahankan adalah penghargaan antara sesama.

VI.  KESIMPULAN

Perkembangan etika dalam kehidupan bermasyarakat berawal dari tuntutan terpenuhinya rasa keadilan dalam diri setiap individu. Perdebatan mengenai kondisi ‘adil’ berkembang sangat luas, dari mulai adil itu sebagai pembagian yang sama rata, proporsional terhadap kontribusi, proporsional terhadap kebutuhan, sampai pada mengabaikan unsur-unsur latar belakang pribadi agar dapat mencapai kesepakatan terhadap keadilan.

Perkembangan rasa keadilan sosial sampai pada munculnya etika kepedulian dan bahkan etika perbedaan melalui fase perdebatan filosofis yang kaya akan sudut pandang sosial. Etika komunikasi, etika kepedulian, etika perbedaan tidak harus dipilih mana yang terbaik, tetapi harus diterapkan secara bijaksana pada kasus-kasus spesifik yang sesuai. Pada perkembangan ke depan, ketiga pendekatan etika tersebut secara ideal dapat dikombinasikan dengan harmonis untuk mencapai titik kulminasi keadilan yang pada akhirnya dapat diterima oleh seluruh pihak dalam lingkungan masyarakat sosial.

REFERENSI UTAMA
Smith, Mick, dan Duffy, Rosaleen. (2003). From Social Justice to Ethics of Care The Ethics of Care. Dalam Tourism Development: Contemporary Geographies of Leisure, Tourism, and Mobility. London: Routledge. Halaman 91 – 112.